Opini Mahasiswa- Korupsi, Mahasiswa, dan Mentoring Agama (Juara Terbaik III)

on Selasa, 30 Desember 2014
Oleh :
Abd. Gafur_Universitas Mataram_087863320605

Indonesia boleh bangga sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman suku, agama, dan budaya. Mungkin juga bangga akan kemajuan peradaban masa lalunya. Tapi kini tidakkah ada hal baru atau prestasi yang pantas kita banggakan?  Salah satu prestasi sesungguhnya bagi bangsa Indonesia adalah bila bangsa Indonesia mampu memberantas korupsi di negeri tercinta ini.
Indonesia sendiri termasuk negara dengan budaya timur. Timur adalah tempat matahari terbit, hari yang tak pernah gelap karena cahaya selalu menerangi. Di mana budaya timur selalu lebih terang dibanding budaya barat tempat matahari terbenam. Di mana moral dan etika adalah harga diri tertinggi seorang timur. Itu secarik filosofi yang pernah disampaikan dalam film Shanghai Noon (2000). Namun filosofi tinggal filosofi, kini hanya menjadi sepenggal kalimat yang sudah tak berlaku di negeri yang mengaku berbudaya timur ini. Kecerahan mulai luntur bahkan mungkin matahari sudah tak mampu terbit dari timur. Perbuatan, tingkah laku, penyimpangan-penyimpangan semakin membuat gelap batang hari. Mungkin jika Ibu Kartini masih hidup sampai sekarang, Ia akan menyesal karena telah membuat buku berjudul habis gelap terbitlah terang. Karena pada kenyataannya sekarang habis gelap bukan malah terbit terang tapi semakin terbit gelap.
Munculnya statement pesimis di atas, tersebab melihat fenomena sosial yang telah terindikasi oleh penyimpangan yang banyak  berhamburan sekarang ini. Dan seakan fenomena ini menjadi sebuah pengungkap wajah aslinya negeri ini. kita mulai dengan kata korupsi yang sudah tak asing lagi dalam prilaku bangsa kita, para koruptor yang semakin kaya raya, pendidikan seperti anak tiri yang ditelantarkan, kemiskinan yang tak kunjung mereda bagai segerombol lalat yang dibiarkan hinggap di gundukan sampah, agama adalah topeng yang menjijikkan, hukum seperti selimut yang diperjualbelikan, uang adalah tuhan, kejujuran seperti suatu keajaiban dalam negeri dongeng, dan ketika KUHP sudah diartikan “Kasih Uang Habis Perkara”.
Maka tidak heran jika fenomena di atas diikuti dengan banyaknya ungkapan miris yang keluar dari sebagaian besar orang. Katanya tanah ini tanah surga. Katanya negara ini sudah merdeka. Katanya negara ini negara hukum. Kenyataannya tanah ini memang tanah surga untuk kalangan elit, untuk korupsi sebanyak mungkin sangat mudah. Negara ini memang sudah merdeka, merdeka untuk mereka yang berharta. Merdeka untuk koruptor, namun belum merdeka untuk para maling sandal di kampung. Negara ini memang negara hukum bagi rakyat miskin bersalah yang tak mampu membayar hukum, bagi para maling kelas teri hukum mungkin masih berlaku. Namun hukum tak berlaku bagi yang mampu membeli hukum.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, kasus korupsi di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Berita tentang korupsi sudah menjadi tontonan wajib setiap hari disemua stasiun televisi lokal, nasional, maupun berita internasional. Prilaku korupsi ini seakan menjadi penyakit kronis yang perlahan menggerogoti jantung bangsa Indonesia. Menghancurkan aspek kehidupan dari segala arah. Dia muncul menjadi iblis yang haus dengan dahaga keserakahan. prilaku korupsi ini datang mengahampiri siapa saja. Bagi yang kuat imannya akan bertahan. Namun, bagi yang lemah imannya akan jatuh dan terperangkap dalam lubang korupsi itu.
            Dan jika kita analogikan korupsi layak disandingkan dengan narkoba. Sekali mencoba akan ketagihan dan akhirnya akan ketergantungan. Korupsi menawarkan kemewahan duniawi sesaat yang menggiurkan. Maka tidak heran, jika sekarang kita melihat begitu banyak pejabat yang terjerat dalam kasus korupsi, walupun dalam hati kita bertanya “ untuk apa mereka melakukan korupsi ? uang banyak, pangkat bagus, rumah mewah ?”. Tentu saja semua ini berawal dari hasrat yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilki. Selalu merasa kekurangan walaupun telah memiliki segalanya.

Memang kita harus amini, sikap egois dan rakus merupakan dosa asal atau fitrah manusia, di dalamnya terkandung benih-benih megalomania yang bila dibiarkan tumbuh, akan berkembang menjadi perilaku yang tercela dan semakin kronis. Dari situlah penyakit menahun yang disebut korupsi terlahir. Suatu penghianatan yang menciderai kehidupan sosial, utamanya kesucian akan aspek perpolitikan. Sehingga tidaklah heran jika mereka yang terdzalimi beranggapan bahwa politik adalah barang paling kotor, kepongahan yang mengorbankan manfaat bersama untuk kepentingan sebagian orang atau golongan. Korupsi memecah belah, menimbulkan keadaan tidak stabil dan mengkhawatirkan, membuat orang apatis kepada penderitaan saudara setanah airnya, kehilangan rasa peka karena keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan pertimbangan pribadi tanpa memperhitungkan akibatnya bagi publik.
Wabah korupsi memang telah menjamah seluruh elemen. Banyak  pejabat publik yang notabene diberi kepercayaan untuk mengelola sumber daya dari masyarakat,menegakkan undang-undang dan bertindak jujur dalam pemerintahan. Tetapi kebanyakan mereka lupa diri bahwa mereka adalah milik publik, dan kemudian berbalik menganggap publik sebagai musuh.
Permasalahan korupsi di Indonesia sudah sangatlah dahsyat sehingga dibutuhkan usaha yang sangat revolusioner untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejalan dengan hal itu, Adami Chazawi mengemukakan bahwa sebagai kejahatan yang tergolong extraordinary crime, tindak pidana korupsi jelas memerlukan extraordinary measure / extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa) (Chazawi, 2008).
Dampak Korupsi
Jika berbicara mengenai dampak, maka tidak lain yang akan kita bicarakan adalah mengenai dampak negatif yang akan ditimbulkan. Dalam posisinya, rakyatlah yang akan menerima porsi paling banyak akan dampak negatif tersebut, bagaimana tidak ? dengan pendapatan yang sangat rendah, mereka harus menyisihkan pendapatannya untuk disetorkan dalam bentuk pajak dengan harapan akan memproleh pengembalian dalam bentuk pelayanan yang memadai. Sungguh imajinasi yang mulia bagi kalangan tak berada. Namun seorang koruptor tidak akan pernah menyadari kerja keras ini. yang penting dapat uang, maka selesai sudsah.
Dalam hal dampak ini, akan lebih komplit jika kita melihat paparan bapak Sudjana (2008) yang mengungkapkan dampak korupsi adalah dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, mengurangi kewibawaan pemerintah, memangkas pendapatan negara, melemahkan keamanan dan ketahanan negara, merusak mental pribadi masyarakat, serta mengurangi nilai hukum bagi masyarakat. Dengan demikian, korupsi merupakan suatu tindakan kriminal yang merugikan masyarakat dan negara sehingga perlu upaya pemberantasan secara komprehensif dan sistematis.
Koruptor, Tikus Kantoran berkeliaran
Mungkin bukan uangkapan umum lagi jika para koruptor sering diasosiasikan sebagai seekor tikus. Seekor binatang yang dalam kehidupan sehari-hari sangat dekat namun sering menimbulkan masalah.  Maka tidaklah berlebihan jika sebagian orang mengatakan negeri ini sudah seperti kebun binatang dikarenakan banyak tikus-tikus masyarakat yang berkeliaran. Hampir setiap bulan ada saja nama-nama baru yang diberitakan. Mulai yang tinggal di gedung parlemen. Di kantor menteri, gubernur, dan bupati. Di kantor pajak dan pengadilan. Di markas kepolisian. Di rumah ibadah. Di perguruan tinggi hingga sekolah balita. Serta di jantung birokrasi setiap organisasi. Jika kita mengingat kembali tikus-tikus  yang pernah berkeliaran di Indonesia, maka kita akan mendengar nama-nama seperti “Izederik Emir Moeis (Anggota DPR), Murdoko (Ketua DPRD Jawa Tengah), Riza Kurniawan (Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah), Iqbal Wibisono (Mantan Anggota DPRD Jawa Tengah), Yohanes Eluay (Ketua DPRD Kabupaten Jayapura), Zulklifi Shomad (Mantan Ketua DPRD Kota Jambi), Aries Marcorius Narang (Ketua DPRD Palangkaraya), Sukarni Joyo (Anggota DPRD Kutai Timur), Andi Irsan Idris Galigo (Anak Bupati Bone/Anggota DPRD Bone), Angelina Sondakh (Anggota DPR), H. Zahri (Swasta, Direktur PT Langgam Sentosa, Ketua DPRD Pelalawan), Muhammad Faizal Aswan (Anggota DPRD Riau), M. Dunir (Anggota DPRD Riau), Taufan Andoso Yakin (Wakil Ketua DPRD Riau), E. Suminto Adi (Mantan Kasi Pelayanan Nasabah Bank Jatim, Anggota DPRD Mojokerto), Wisnu Wardhana (Ketua DPRD Surabaya), Zulkarnaen Djabar (Anggota Banggar, Anggota Komisi VII), Afit Rumagesan (Ketua DPRD Fakfak), Sumartono (Anggota DPRD Semarang), Agung Purno Sarjono (Anggota DPRD Semarang), Andi Alfian Malaranggeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), M. Nazaruddin (Anggota DPR), (Guritno, 2012).
2
Lalu pertanyaannya, siapa yang tak kenal mereka? Mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat, tapi diam-diam menjadi penjahat. Mereka, para tikus kantoran yang harus diruntuhkan.
 Korupsi terjadi dimana-mana, selama ada manusia disana. Tabiat manusia ketika memiliki kesempatan, kekuasaan, jabatan dan niat untuk melakukan sesuatu maka akan serta merta dilakukan sesuai keinginan. Pribadi seseorang lebih banyak mempertimbangkan keuntungan dan mengabaikan kerugian yang ditimbulkan oleh apa yang dikerjakan. Mungkin saja ini dampak dari pendidikan ekonomi yang mengatakan : “ mengeluarkan modal sedikit untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pencegahan korupsi yang merajalela ini perlu dilakukan dengan segera dan komprehensif, dari berbagai arah, secara serentak dan konsisten, serta sejak sedini mungkin. Dalam hal pendidikan antikorupsi haruslah dilaksanakan secara utuh, selain mengandung telaah berbagai disiplin lain, perlu melibatkan komponen psikologi yang cukup besar. Kejujuran, moralitas, kebaikan, nilai benar-salah, dan tanggung jawab sosial perlu ditelaah dalam konteks berbeda-beda agar anak sedini mungkin paham situasi ideal dan situasi riil yang sering berbeda dengan yang ideal, tetapi tetap mampu memisahkan dengan tajam mana yang pada dasarnya salah maupun benar. Kasus-kasus nyata sehari-hari dari yang sederhana hingga yang kompleks perlu didiskusikan. Misalnya, mencontek itu, dengan alasan apa pun, tetap merupakan tindakan yang salah. Menolong teman mencuri barang karena sangat butuh uang tetap hal buruk. Sangat berbahaya bila yang mengucapkan slogan antikorupsi malah sangat piawai melakukannya. “Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput karena memberantas korupsi layaknya mencegah dan menumpas virus suatu penyakit, yaitu penyakit masyarakat” (Prof. Romli Atmsasmita, S.H., LL.M. : Sekitar Masalah Korupsi).
Segala permasalahan ini, apabila ditarik suatu benang merah, maka akan ditemukan sebuah konklusi logis, yaitu tidak adanya seorang inisiator yang mampu menghidupkan dan menjalankan roda organisasi dan secara persusasif mengajak pemuda-pemuda potensial di lingkungannya. Karena sejatinya, status keanggotaan pasif dan prinsip kerja swadaya yang seperti dua mata pedang ini mampu dijadikan sebuah loyalitas dan militansi terhadap organisasi, dengan syarat ada seorang inisiator yang mumpuni. Dan mahasiswa adalah kuncinya, rahasia tersembunyi di balik permasalahan ini. Mengapa mahasiswa? Mahasiswa merupakan pemuda terdidik dengan tingkat pendidikan yang sampai jenjang perguruan tinggi, memiliki kemampuan hampir mencapai tingkat kemahiran pada bidangnya, idelologi dan idealisme yang terpegang dengan kuat serta setiap ucapan yang didasarkan pada rasionalitas dan kebenaran. Mahasiswa dengan segala abilitasnya seharusnya mampu menjadi inisiator untuk menghidupkan kembali oragnisasi strategis Karang Taruna, terutama mahasiswa dengan label aktivis yang sudah penuh pengalaman dalam menjalankan roda organisasi.
Solusi Korupsi
Berbicara Anti korupsi, berarti membahas tentang segala bentuk penyimpangan dalam segala persepsi, solusi efektif dan efisien. Mengatasi korupsi tidak bisa hanya diatasi dengan spanduk, baliho, iklan-iklan, KPK, dan semua sarana yang manusia buat tanpa harus melibatkan agama dalam mensolusikannya. Penyimpangan perilaku seseorang dalam melakoni jabatan yang sedang diemban mengantarkan kebobrokan suatu lembaga dan merebaknya korupsi dalam segala lini yang ada Solusi strategis mengatasi para wakil rakyat dan pejabat ditataran pemerintahan, lembaga sosial, dan lembaga pendidikan adalah dengan memperbaiki orang-orang yang berperan paling banyak disetiap tempat-tempat yang memiliki peluang untuk korupsi. Sebagai contoh, Recruitment pegawai baru didasari dengan bidang masing-masing dan profesionalisme kerja bukan karena keluarga atau karena uang yang ditawarkan kepadanya.
Bersihkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam profesi yang digeluti, dari jabatan tinggi, dan hinakan para koruptor dikhalayak ramai. Ketegasan secara menyeluruh dan pendidikan dini dengan pendekatan agama serta diaplikasikan dengan bukti keteladanan. Tegas tidak pandang jabatan, uang, golongan, status dan semua yang menghalangi untuk dijerat hukum. Ketegasan kepada segelintar orang-orang lemah, teraniaya, dan rakyat jelata menyebabkan kekacauan dimana-mana akibat Undang-Undang dikalahkan Amplop. Para penerus bangsa yang akan menggantikan orang-orang yang sudah terlanjur tercemari, harus dipersiapkan pola pikir, Visi, Misi, Orientasi dan Motivasi agama yang diyakini. Sehingga menghasilkan para pembaharu dalam semua kerusakan yang telah terjadi Kondisi sekarang tidak mungkin langsung dibersihkan dengan tindakan secara otoriter dan sepihak. Langkah efektif dan efisien harus segera ditanamkan sejak dini sebelum terkontaminasi virus-virus korupsi. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah pembinaan dan pendidikan calon-calon penerus yang akan menggantikan para koruptor. Pendidikan yang dibutuhkan untuk para pengganti mereka yang rusak pemikirannya dan tujuan hidupnya adalah pemahaman agama. Agama merupakan sarana pencegah dan pengobat paling efektif dan efisien.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa gerakan mahasiswa 1998 mampu menggulingkan diktator kepemimpinan tiga dekade sang aktor utama orde baru yang syarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang disebabkan pada krisis moneter yang memiskinkan segala lini kehidupan rakyat Indonesia. Peranan mahasiswa sebagai upaya mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan tidak hanya dilakukan pada era orde baru, suatu kedigdayaan dalam orde lama yang memberi semangat merontokkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bersarang pada kepemimpinan Soekarno tidak terlepas peran mahasiswa dalam pencetusan tritura yang akhirnya lahirlah orde baru.
Mengapa Harus  Mahasiswa ?
Empat belas tahun sudah negeri ini bertransformasi menuju era reformasi menggantikan orde baru yang sudah tiga puluh dua tahun lamanya menguasai bangsa Indonesia. Namun suksesi dari orde baru ke era reformasi tidaklah seindah yang dibayangkan, karena dalam suksesi tersebut nilai KKN utamanya korupsi mendorong pengkerdilan pola pikir masyarakat yang berimplikasi acuhnya masyarakat akan permasalahan bangsa. Namun harapan masih ada, ketika melihat angka yang tercantum dalam Indeks Presepsi Korupsi tersebut sudah seharusnya kita tidak merasa kerdil dan sepatutnya optimis dalam memperjuangkanm semangat antikorupsi.
Salah satu harapan yang dimiliki Indonesia ialah urgensinya keberadaan peran mahasiswa dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah khususnya di bidang pemberantasan korupsi. Peran mahasiswa dalam hal pemberantasan korupsi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan, terutama mahasiswa merupakan kaum akademis sebagai insan yang memiliki keunggulan intelektual karena itu merupakan modal dasar kredibilitas intelektual. Selain itu, secara sosial politik, mahasiswa merupakan bagian dari rakyat, bahkan ia merupakan rakyat itu sendiri. Mahasiswa tidak boleh menjadi entitas teralienasi di tengah masyarakat sendiri. Ia dituntut untuk melihat, mengetahui menyadari, dan merasakan kondisi riil masyarakatnya yang hari ini sedang dirundung krisi multidimensional. Kesadaran ini harus teremosionalisasikan sedemikian rupa sehingga tidak berhenti dalam tataran kognitif an sich, tapi harus terwujud dalam bentuk aksi advokasi. Dalam tataran praksis, aksi advokasi ini sering bersinggungan dengan ketidakadilan dan otoriterianisme kekuasaan. Menantang memang, namun disitulah jiwa kemahasiswaan seseorang teruji (Indra Kusumah, 2007: 16).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi (Poerwadarminta, 2005:375). Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan keerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi.
Korupsi dan mahasiswa memang secara langsung tidak menjadi ikatan, karena korupsi identik dengan kekuasaan, suatu kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, terlebih kekuasaan itu tidak limitatif. Mahasiswa yang masih menduduki usia pendidikan tidak mempunyai kekuasaan dengan sistem pemerintahan,  tetapi pola kekuasaan sudah dialami mahasiswa pada masanya dengan berbagai organisasi kemahasiswaan yang berada pada intra kampus atau ekstra kampus yang merupakan miniatur dari pemerintahan.“Eine grosse Epoche has hat das Jahrhundert geboren. Aber der grosse Moment findetein kleines Geslecht” (Sebuah zaman besar dalam abad ini telah lahir. Tetapi masabesar ini menemukan jiwa yang kerdil) – Mohammad Hatta (Untuk Negeriku).
Refleksi sumpah pemuda dilanjutkan peringatan kisah paling heroik tanggal 10 November dapat menjadi menjadi refrensi sebagai momentum kelahiran pemuda yang kritis saat ini. Sejarah yang telah terukir di masa lalu harus mulai diukir lagi untuk meneruskan ukiran indah cerita mahasiswa di masa lalu. pemuda yang dengan potensi besarnya masih terlelap dalam tidurnya sehingga harus segera dibangunkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) seperti yang diberitakan Kompas hari Senin (28/10/2013) menunjukkan kelompok usia produktif berusia 15-65 tahun meningkat 17,1 persen dalam waktu 15 tahun  ke depan. Sensus BPS tahun 2010 mencatat, penduduk Indonesia kelompok 0 sampai 14 tahun sebesar 28,8 persen dan mereka yang berumur 15 sampai 39 tahun sebesar 32,3 persen. Jadi lebih dari 60 persen dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia berumur di bawah 40 tahun. (majalahganesha.com) .  
Secara kuantitas, itulah gambaran besarnya jumlah pemuda Indonesia. Lalu, secara kualitas potensi pemuda Indonesia meliputi idealisme, daya kritis, dinamisme, kreativitas serta fisik yang prima. Ketika semua potensi itu, baik kualitas maupun kuantitas mampu disinkronisasi dan diberdayakan, maka “raksasa” yang sedang tertidur itu akan segera bangun.Pemuda dengan berbagai karakter, kemampuan dan latar belakang merupakan sumber daya manusia yang sangat besar dan strategis bagi keberlangsungan peralihan tongkat estafet kepemimpinan dan perjuangan dalam membangun bangsa dan negara di masa depan. Meskipun demikian, kuantitas yang besar dari generasi muda dapat menjadi senjata makan tuan apabila tidak mendapatkan pembinaan dan pengembangan yang terencana dan terarah.
Perlunya Wadah Pembinaan Mahasiswa
            Pembinaan dan pengembangan terencana mutlak diperlukan untuk mempersiapkan dan memberdayakan mahasiswa sebagai lokomotif perjuangan. Sehingga tercipta iklim yang dinamis dan produktif. Selain itu, diwajibkan pula adanya afirmasi tentang pemantapan eksistensi, fungsi dan urgensi wadah kemahasiswaan. Wadah kemahasiswaan diperlukan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan serta pemberdayaan generasi muda yang akan menetaskan generasi muda yang potensial serta ideal yang memiliki kemampuan mumpuni dan produktivitas tinggi dalam kontribusi pembangunan bangsa. Seiring berkembangnya waktu, sering kali kita sudah melihat banyaknya wadah kepemudaan extra kampus yang telah berkembang, meliputi KNPI, Karang Taruna, dan berbagai bentuk peguyuban lainnya. Sedangkan pada tataran mahasiswa juga terdapat berbagai organisasi kampus seperti BEM, ormawa dan UKM lain.sehingga ini adalah modal besar yang seharusnya digunakan dalam wadah ideal dalam membangun pergerakan mahasiswa
            Secara kuantitas, jumlah mahasiwa hanya 13,28 persen dari jumlah pemuda seusianya. (bps.go.id) Fakta ini mengindikasikan urgensi yang begitu besar agar mahasiswa diberdayakan sehingga siap untuk berkontribusi nyata kepada masyarakat. Akan tetapi, masih banyak mahasiswa yang masih bersembunyi dalam zona nyaman dan enggan untuk keluar untuk menuntaskan tugasnya sebagai agent of initiation. Mahasiswa memiliki ranah-ranah strategis sebagai tempat berkontribusi untuk menginisisasi dan menghidupkan lingkungan masyarakat. Ketika tidak mampu menciptakan suatu kontinuitas, maka cukup menjadi inisiator lalu memberdayakan pemuda sekitar untuk menjalankan organisasi dan secara periodik memantau kondisi dan keberjalanan organisasi hasil inisisasi. Mungkin inilah salah satu amanat suci Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai ejawantah pengabdian kepada masyarakat.
Karakter ideal memandang masalah dengan hakekat manusia sejati tidak seperti orang pada umumnya. Menelusuri pokok permasalahan untuk meningkatkan produktifitas dan peran serta di dalam masyarakat. Terkadang terasa asing disebabkan beban yang ditanggung oleh seseorang yang memiliki karakter ideal demi terciptanya lingkungan yang kondusif. Pribadi ideal tidak luput dari perkara remeh yang menghanyutkannya untuk meninggalkan perkara yang lebih besar. Namun mampu memamfaatkan setiap momentum untuk berbuat kebaikan dan memperbaiki keadaan
Mahasiswa dalam tataran normatifnya memang secara langsung tidak terkait dengan korupsi, karena korupsi erat kaitannnya dengan kekuasaan, kekuasaan yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang berada pada ranah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam struktur organisasi, mahasiswa memainkan peran miniatur negara yang berada pada chapter kampus yang oleh karenanya kekuasaan sebagai pemimpin suatu organisasi dapat dijadikan pembelajaran untuk tidak menggunakan kekuasaan secara absolut dan menyalahgunakan wewenang sebagai diskresi untuk menjadikan komoditi dalam penyelenggaraan miniatur negara.
Mahasiswa merupakan usia muda Mempunyai potensi yang kuat untuk mewujudkan cita-cita bangsa indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, untuk itu aktualisasi pemuda merupakan harapan besar Indonesia. Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 mendefinisikan Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Di awal perjuangan bangsa Indonesia, seorang Mohammad Hatta yang pada saat itu berumur 26 tahun berhasil melawan ketidakadilan Belanda melalui pleidoi/pembelannya yang berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), betapa tajamnya tulisan pembelan Mohammad Hatta yang ditujukan untuk melawan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia. Pada era reformasi tahun 1998, mahasiswa yang pada saat itu garda utama dalam menolak keberlanjutan orde baru memberikan dasar perjuangan berupa penggerakan aksi massa guna mengakhiri aksi kedigdayaan orde baru. Orde baru yang pada saat itu terkenal represif terhadap siapa saja mengkritik pemerintahan, tetapi begitu lemah people power mulai beraksi menggugat orde baru bersama kroni-kroninya. Saat ini, mahasiswa sebagai agent of change perlu suatu gerakan baru yang berbasiskan pada kapasitas intelektual mahasiswa guna mengimplementasikan nilainilai tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat).
Dinamakan Intellectual Movement (gerakan intelektual), karena pada basisnya gerakan ini didasari penanaman nilai-nilai akademisi yang diilhami dalam tri dharma perguruan tinggi. Gerakan intelektual ini juga merupakan modal pergerakan mahasiswa dalam ikut berpartisipasi menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan dampak positif bagi pergerakan mahasiswa, salah satunya adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat yang tertuangkan secara eksplisit dalam pasal 28 a-j UUD NRI Tahun 1945. Adanya pengakuan akan HAM memberikan juga kesempatan terbukanya pintu-pintu demokrasi yang selama orde baru terkunci rapat, sehingga terjadi reformasi dalam aspek struktur, substansial, dan kultural dalam diri pemerintah
Terbukanya pintu demokrasi berbanding lurus dengan diversifikasi gerakan mahasiswa khususnya yang berbasiskan gerakan intelektual, yaitu: 1. Adanya legalitas pembentukan naskah akademik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi previlige/keistimewahan akan pembentukan naskah akademik yang diberikan oleh undang-undang tersebut jarang sekali digunakan para mahasiswa untuk berpartisipasi dalam menciptakan peraturan perundangundangan yang ideal. Jadi, sungguh sayang sekali apabila kesempatan emas ini disia-siakan, apalagi naskah akademik merupakan roh/nyawa dari latar belakang dibentuknya undang-undang tersebut. 2. Ikut serta dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), guna melaksanakan norma transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, biasanya Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan RDPU yang dihadiri oleh siapa saja. Bisanya RDPU dilakukan untuk membahas suatu Rancangan Undang- Undang (RUU), selain itu masyarakat juga bisa memberikan pendapat mengenai pembahasan yang terdapat dalam RUU, sehingga RUU yang nantinya akan disahkan dalam undang-undang mampu mengakomodir semua kepentingan. 3. Pengajuan uji materiil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi faktanya pengujian materiil ini justru lebih sering diajukan oleh koruptor yang lebih dikenal dengan fenomena Corruptor Fights Back guna mengerdilkan semangat antikorupsi dengan menjudicial review UU KPK. Maka sudah seharusnya, mahasiswa juga harus memanfaatkan momentum uji materiil kepada MK guna membatalkan norma hukum yang tidak sesuai dengan tujuan negara.  4. Kajian, kajian atau yang lebih sering disebut dengan mimbar intelektual ini hendaknya dilakukan di tempat berkumpulnya mahasiswa. Lembaga pergerakan mahasiswa menyediakan fasilitas untuk menyampaikan pendapat dan mempersilahkan mahasiswa untuk berbicara dan menyatakan pendapat dalam suatu forum terkait dengan wacana gerakan. 5. Community Development (Comdev), Comdev/Pembangunan komunitas merupakan aplikasi dari nilai ketiga tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Yang mana pembangunan komunitas dalam masyarakat ini bertujuan sebagai upaya pencerdasan kepada masyarakat guna menghilangkan sikap acuh masyarakat, sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat utamanya memberikan harapan itu masih ada. 6. Aksi Massa, aksi lebih popular dikenal dengan demonstrasi ialah sarana komunikasi politik untuk mensosialisasikan sebuah tuntutan atau wacana yang digulirkan. Biasanya aksi massa disertai dengan orasi dan juga penyebaran pernyataan sikap secara tertulis (Indra Kusumah, 2007: 50).
Bagaimanapun juga penggunaan aksi massa ialah optimum remedium atau sebagai obat/solusi terakhir ketika semua gerbang demokrasi/hak menyatakan pendapat telah terkunci rapat oleh penguasa. Di masa depan peran mahasiswa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik khususnya menjadi aktivis pemberantas korupsi yang lebih popular disebut sebagai fenomena Student Fight Back. Negeri ini tidaklah kerdil, negeri ini tidaklah bermental kerdil, dan negeri ini tidak pernah acuh terhadap perjuangan bangsanya, karena selama mahasiswa konsisten mengawal cita-cita bangsa ini, maka koruptor akan menjerit ketakutan berhadapan dengan sang agent of change. Bangsa ini ibarat rumah bagi rakyatnya, yaitu rumah tumpah darah Bangsa Indonesia. “You can take me out from Indonesia, but you can never take Indonesia out from me – (Merry Riana)”.
Pergerakan di bawah nauangan Mentoring agama mahasiswa
Kapabilitas dan elektabilitas pemimpin dimasa depan dapat dilihat dari mahasiswa saat ini, suatu keniscayaan biologis adanya regenerasi dari generasi tua ke generasi muda untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Mahasiswa yang merupakan tokoh pembaharu bangsa dimasa depan akan menghadapi suatu problemik jika dalam kepribadiannya tidak mencerminkan adanya jiwa yang menjunjung supremasi hukum, persamaan kedudukan dalam hukum (equal before the law),  dan menghargai hak asasi manusia sebagai perwujudan dari ciri-ciri negara hukum.  Sejarah kepemimpinan dimasa lalu bisa dijadikan cemin untuk penumbuhan karakter pemuda dalam pencegahan dan pemberantas Korupsi agar Indonesia yang lebih berkarakter.
Pak Soekarno pernah bilang “seribu orang tua hanya bisa bermimpi tapi satu pemuda bisa mengubah dunia”. Inilah ungkapan sakral yang terucap dari bibir seorang Ir. Soekarno tentang bagaimana kekuatan dan potensi pemuda Indonesia. Kata “pemuda” memang seharusmya terkonotasi dengan sangat indah terhadap kepahlawanan, patriotisme, keberanian dan kecerdasan. Bukan seperti dewasa ini, hal sebaliknya yang justru terjadi, kata pemuda memberikan arti terhadap westernisasi, hedonisme, hura-hura dan hal lain yang syarat akan makna negatif. Ungkapan ini tentu sangat beralasan dan rasional apabila melihat kondisi pemuda Indonesia saat ini. Narkoba, minuman keras, seks bebas, kekerasan bahkan kriminalitas menjadi realita kehidupan pemuda di masa yang seba instan ini. Hal ini pun belum mencakup produktivitas dan prestasi serta kontribusi pemuda dalam membangun masyarakat yang masih sangat rendah.
Polemik yang terjadi pada mahasiswa Indonesia menjadi hambatan untuk mewujudkan cita-cita luhur founding father bangsa Indonesia,  terlihat dari pergeseran peran mahasiswa yang berdasar pada das sollen (harapan) yaitu sebagai agent of change (agen perubahan), social control (kontrol sosial) dan agent of development ( agen pemerintahan) tetapi pada das sein (kenyataan) menjadi sosok yang mempunyai perilaku konsumtif, mengutamakan westernisasi, kepentingan pribadi diatas kepentingan kelompok, termasuk rendahnya moral sehingga terwujudnya mengambil hak orang lain yang memunculkan rekayasa sosial berupa penanaman nilai-nilai korupsi.
Karakter ideal dengan anti korupsi memiliki hubungan yang erat dengan agama. Batasan-batasan yang digariskan oleh setiap agama merupakan faktor pencegah korupsi yang paling efektif. Semua agama melarang tindakan korupsi dalam segala bentuk yang menimbulkan kerugiaan orang lain. Peran karakter ideal adalah memiliki daya kompetitif yang sehat dan selalu menghindari tindakan yang mengantarkannya jatuh dalam kehinaan
Pergeseran peran mahasiswa dalam mencintai bangsa dan negara Indonesia menimbulkan polemik berupa keinginan atau hasrat untuk menikmati kemerdekaan dengan cara yang tidak sesuai aturan yang berlaku, termasuk korupsi. Mahasiswa yang berkarakter sebagai seorang pemimpin yang mewujudkan good governance tidak dimulai dengan pembelajaran korupsi seperti berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukum sebagai contoh menggunakan uang organisasi untuk keperluan pribadi, mencontek ketika ujian, memberikan gratifikasi kepada dosen untuk mendapatkan nilai semester.
Kutipan kalimat dalam trilogi otobiografi Bung Hatta mendeskripsikan bahwasanya zaman yang besar akan berhadapan pada suatu penyakit pengkerdilan jiwadan mental bangsa. Bagaimana tidak?, bangsa ini telah diracuni dengan segudang pesimisme dimulai dari tata kelola pemerintahan hingga mentalitas penegakan hukum bangsa Indonesia. Kerdilnya jiwa kebangsaan ini tidak terlepas dari permasalahan korupsi yang semakin hari semakin membuat pesimis mental bangsa akan pembangunan nasional Indonesia. Jangankan untuk memberantas korupsi, di negeri ini ada anggota wakil rakyat yang juga ikut aktif memperjuangkan kegiatan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tidak salah jika Guru Besar Hukum Tata Negara Deny Indrayana mengatakan dalam karyanya Negeri Para Mafioso: Hukum di Sarang Koruptor, konon ada suatu negeri para Mafioso, yang mana di negeri tersebut melakukan tindakan korupsi ialah tindakan lazim/legal dan hampir semua orang melakukannya secara telanjang kasat mata. Dan konon di negeri itulah para koruptor hidup dipuja-juga bagaikan dewa. Walaupun berada di negeri bak sarang koruptor, keoptimisan jiwa bangsa yang beradab haruslah tetap dijunjung.
Maka sebagai seorang yang digadang-gadang sebagai generasi perubah peradaban  maka sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa memiliki keteladanan yang baik pula. Sangat tidak etis ketika kita memiliki cita-cita tinggi dalam mengubah peradaban masyarakat yang masih amburadul mejadi peradaban yang baik, sedangkan kita sebagai pelaku tidak memperbaiki diri. Namun harapan tersebut mungkin masih terasa berat direalisasikan mengingat sampai saat ini, masyarakat masih mengenal mahasiswa sebagai sosok yang sering bertindak di luar hukum, melakukan aksi demontrasi yang tidak sedikit disertai dengan aksi aksi anarkis, pengerusakan dimana-mana, berorasi dengan kata-kata kotor dan masih banyak lagi yang harus diintropeksi oleh mahasiswa itu sendiri
Dengan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan sebuah upaya intervensi
guna meningkatkan konsep diri mahassiswa melalui teman sebaya. Salah satu program intervensi yang dapat dilakukan melalui peran teman sebaya adalah dengan proses mentoring. Santrock (2007) di dalam bukunya yang berjudul Adolescence mengatakan bahwasanya mentoring merupakan program yang cocok dalam pembentukan karakter dan pendidikan bagi para remaja. Selain hal tersebut, Agustiani (2006) menambahkan cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep diri pada remaja agar menjadi lebih positif adalah dengan
meningkatkan nilai-nilai religiusitas remaja. Oleh karena itu, dengan kombinasi
antara mentoring dengan penanaman nilai religiusitas diharapkan dapat semakin
memperkuat konsep diri remaja menjadi lebih positif, yakni melalui mentoring
Agama Islam.
Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi, instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu.
Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan
kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama. Di samping itu, relasi dari mentee ke pementor juga melibatkan karakter
emosional yang diwarnai oleh sikap hormat, setia, dan identifikasi (Santrock, 2007).
Dalam Islam, kata mentoring lebih dikenal dengan istilah halaqah atau
usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam.
Mentoring dilaksanakan pada kelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji
ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12
orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum
tersebut berasal dari lembaga yang menaungi kegiatan mentoring tersebut (Satria,
2010). Mentoring yang dilakukan secara rutin sepekan sekali akan membentuk
hubungan yang baik antara sesama anggota kelompok mentoring. Pola pendekatan
teman sebaya yang diterapkan menjadi program ini lebih menarik, efektif serta
memiliki keunggulan tersendiri (Rusmiyati, 2003). Selain penyampaian materi
tentang Islam, sasaran dan fokus materi juga harus disesuaikan dengan kondisi
mahasiswa agar nilai-nilai dalam mentoring tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya kegiatan mentoring ini juga didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwasanya remaja yang bergabung dalam kelompok-kelompok
mentoring lebih cenderung memiliki konsep diri yang tinggi dan lebih terdidik. Sebab dalam prosesnya para partisipan yang tergabung didalamnya mempraktikkan keterampilan interpersonal dan membantu individu dalam menjalani peran sebagai orang dewasa (Santrock, 2007). Pola teman sebaya yang dibangun dalam proses mentoring memunculkan sebuah harapan bagi peserta mentoring untuk membentuk persahabatan yang kuat.Dalam hal ini, pemasukan nilai agama ke dalam pemikiran mahasiswa merupakan hal yang logis dilakukan. Agama yang diyakini membawa kemaslahatan jika dikombinasikan dengan semangat yang menggebu-gebu akan melahirkan suatu ide yang tidak hanya didasarkan cit-cita dengan iming-iming nafsu belaka, namun lebih dari itu, agama akan membawa pemikiran yang melahirkan cita-cita yang lebih mulai yang disertai dengan proses pencapaian yang mulia pula.
            Maka sudah sangat jelas jika, mentoring agama mahasiswa adalah salah satu strategi yang dapat diterapkan guna membangun kesadaran mahasiswa sekaligus sebagai penghimpun kekuatan besar mahasiswa yang dikombinasikan dengan nilai-nilai agama. Kepercayaan masyarakat diharapkan akan kembali kepada mahasiswa ketika melihat mahasiswa dapat menyuarakan aspirasi mereka dengan tata cara yang baik dan santun. Masyarakat akan lebih menghormati mahasiswa sebagai seorang yang berpendidikan tinggi tatkala keteladanan ada dalam mahasiswa itu sendiri. dan memang itu bukanlah retorika belaka. Melalui peran agama juga, masyakarat akan lebih dekat dengan mahasiswa, karena bukan rahasia umum lagi jika dalam sejarahnya, suatu peradaban dapat berubah karena telah diintervensi oleh nilai-nilai keagamaan. Jika dianalogikan juga, Ia seperti mata uang yang tetap laku dijual dimanapun kita berada, karena semua orang khususnya di indoensia yang mayoritas Islam ini sudah mengenal apa itu islam. Maka itu akan menjadi peluang besar dalam membangun kekuatan tersebut. Jika hal ini bisa terealisasi, maka kekuatan masyarakat sebagai pemberi kekuatan baru bagi mahasiswa dapat dimungkinkan akan terjadi. Dan bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika simbiosis mutualisme antar mahasiswa dan masyarakat dapat terbangun sedemikian rupa.
Sebagai penutup, penulis mengutip suatu hadist yang erat sekali kaitannya dengan kondisi saat ini, “Ketahuilah bahwasanya pada setiap tubuh ada segumpal daging. Jika daging itu baik, akan baiklah seluruh anggota tubuhnya. Namun apabila dia rusak maka akaan rusak pula seluruh anggota tubuhnya. Ketahuilah bahwasanya segumpal daging itu adalah hati.”(HR. Bukhari dan Muslim)


0 komentar:

Posting Komentar