Oleh :
Abd. Gafur_Universitas Mataram_087863320605
Indonesia boleh bangga sebagai bangsa yang memiliki
keanekaragaman suku, agama, dan budaya. Mungkin juga bangga akan kemajuan
peradaban masa lalunya. Tapi kini tidakkah ada hal baru atau prestasi yang
pantas kita banggakan? Salah satu
prestasi sesungguhnya bagi bangsa Indonesia adalah bila bangsa Indonesia mampu
memberantas korupsi di negeri tercinta ini.
Indonesia sendiri termasuk negara dengan budaya
timur. Timur adalah tempat matahari terbit, hari yang tak pernah gelap karena
cahaya selalu menerangi. Di mana budaya timur selalu lebih terang dibanding
budaya barat tempat matahari terbenam. Di mana moral dan etika adalah harga
diri tertinggi seorang timur. Itu secarik filosofi yang pernah disampaikan
dalam film Shanghai Noon (2000). Namun filosofi tinggal filosofi, kini hanya menjadi
sepenggal kalimat yang sudah tak berlaku di negeri yang mengaku berbudaya timur
ini. Kecerahan mulai luntur bahkan mungkin matahari sudah tak mampu terbit dari
timur. Perbuatan, tingkah laku, penyimpangan-penyimpangan semakin membuat gelap
batang hari. Mungkin jika Ibu Kartini masih hidup sampai sekarang, Ia akan
menyesal karena telah membuat buku berjudul habis gelap terbitlah terang.
Karena pada kenyataannya sekarang habis gelap bukan malah terbit terang tapi semakin
terbit gelap.
Munculnya statement
pesimis di atas, tersebab melihat fenomena sosial yang telah terindikasi
oleh penyimpangan yang banyak berhamburan sekarang ini. Dan seakan fenomena
ini menjadi sebuah pengungkap wajah aslinya negeri ini. kita mulai dengan kata
korupsi yang sudah tak asing lagi dalam prilaku bangsa kita, para koruptor yang
semakin kaya raya, pendidikan seperti anak tiri yang ditelantarkan, kemiskinan
yang tak kunjung mereda bagai segerombol lalat yang dibiarkan hinggap di
gundukan sampah, agama adalah topeng yang menjijikkan, hukum seperti selimut
yang diperjualbelikan, uang adalah tuhan, kejujuran seperti suatu keajaiban
dalam negeri dongeng, dan ketika KUHP sudah diartikan “Kasih Uang Habis Perkara”.
Maka tidak heran jika fenomena di atas diikuti
dengan banyaknya ungkapan miris yang keluar dari sebagaian besar orang. Katanya
tanah ini tanah surga. Katanya negara ini sudah merdeka. Katanya negara ini
negara hukum. Kenyataannya tanah ini memang tanah surga untuk kalangan elit,
untuk korupsi sebanyak mungkin sangat mudah. Negara ini memang sudah merdeka,
merdeka untuk mereka yang berharta. Merdeka untuk koruptor, namun belum merdeka
untuk para maling sandal di kampung. Negara ini memang negara hukum bagi rakyat
miskin bersalah yang tak mampu membayar hukum, bagi para maling kelas teri
hukum mungkin masih berlaku. Namun hukum tak berlaku bagi yang mampu membeli
hukum.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, kasus korupsi di
Indonesia seakan tidak ada habisnya. Berita tentang korupsi sudah menjadi
tontonan wajib setiap hari disemua stasiun televisi lokal, nasional, maupun
berita internasional. Prilaku korupsi ini seakan menjadi penyakit kronis yang
perlahan menggerogoti jantung bangsa Indonesia. Menghancurkan aspek kehidupan
dari segala arah. Dia muncul menjadi iblis yang haus dengan dahaga keserakahan.
prilaku korupsi ini datang mengahampiri siapa saja. Bagi yang kuat imannya akan
bertahan. Namun, bagi yang lemah imannya akan jatuh dan terperangkap dalam
lubang korupsi itu.
Dan jika kita analogikan korupsi layak
disandingkan dengan narkoba. Sekali mencoba akan ketagihan dan akhirnya akan
ketergantungan. Korupsi menawarkan kemewahan duniawi sesaat yang menggiurkan.
Maka tidak heran, jika sekarang kita melihat begitu banyak pejabat yang
terjerat dalam kasus korupsi, walupun dalam hati kita bertanya “ untuk apa
mereka melakukan korupsi ? uang banyak, pangkat bagus, rumah mewah ?”. Tentu
saja semua ini berawal dari hasrat yang tidak pernah puas dengan apa yang telah
dimilki. Selalu merasa kekurangan walaupun telah memiliki segalanya.
Memang kita harus amini, sikap
egois dan rakus merupakan dosa asal atau fitrah manusia, di dalamnya terkandung
benih-benih megalomania yang bila dibiarkan tumbuh, akan berkembang menjadi
perilaku yang tercela dan semakin kronis. Dari situlah penyakit menahun yang
disebut korupsi terlahir. Suatu penghianatan yang menciderai kehidupan sosial,
utamanya kesucian akan aspek perpolitikan. Sehingga tidaklah heran jika mereka
yang terdzalimi beranggapan bahwa politik adalah barang paling kotor,
kepongahan yang mengorbankan manfaat bersama untuk kepentingan sebagian orang
atau golongan. Korupsi memecah belah, menimbulkan keadaan tidak stabil dan
mengkhawatirkan, membuat orang apatis kepada penderitaan saudara setanah
airnya, kehilangan rasa peka karena keputusan-keputusan penting diambil
berdasarkan pertimbangan pribadi tanpa memperhitungkan akibatnya bagi publik.
Wabah korupsi memang telah menjamah
seluruh elemen. Banyak pejabat publik
yang notabene diberi kepercayaan untuk mengelola sumber daya dari masyarakat,menegakkan
undang-undang dan bertindak jujur dalam pemerintahan. Tetapi kebanyakan mereka
lupa diri bahwa mereka adalah milik publik, dan kemudian berbalik menganggap
publik sebagai musuh.
Permasalahan
korupsi di Indonesia sudah sangatlah dahsyat sehingga dibutuhkan
usaha yang sangat revolusioner untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejalan
dengan hal itu, Adami Chazawi mengemukakan bahwa sebagai kejahatan yang
tergolong extraordinary crime, tindak
pidana korupsi jelas memerlukan extraordinary
measure / extraordinary enforcement
(penanganan yang luar biasa) (Chazawi, 2008).
Dampak Korupsi
Jika berbicara mengenai dampak, maka tidak lain yang
akan kita bicarakan adalah mengenai dampak negatif yang akan ditimbulkan. Dalam
posisinya, rakyatlah yang akan menerima porsi paling banyak akan dampak negatif
tersebut, bagaimana tidak ? dengan pendapatan yang sangat rendah, mereka harus
menyisihkan pendapatannya untuk disetorkan dalam bentuk pajak dengan harapan
akan memproleh pengembalian dalam bentuk pelayanan yang memadai. Sungguh
imajinasi yang mulia bagi kalangan tak berada. Namun seorang koruptor tidak
akan pernah menyadari kerja keras ini. yang penting dapat uang, maka selesai
sudsah.
Dalam hal dampak ini, akan lebih komplit jika kita
melihat paparan bapak Sudjana (2008) yang mengungkapkan dampak korupsi adalah
dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, mengurangi
kewibawaan pemerintah, memangkas pendapatan negara, melemahkan keamanan dan
ketahanan negara, merusak mental pribadi masyarakat, serta mengurangi nilai
hukum bagi masyarakat. Dengan demikian, korupsi merupakan suatu tindakan
kriminal yang merugikan masyarakat dan negara sehingga perlu upaya
pemberantasan secara komprehensif dan sistematis.
Koruptor, Tikus
Kantoran berkeliaran
Mungkin bukan uangkapan umum lagi jika para koruptor
sering diasosiasikan sebagai seekor tikus. Seekor binatang yang dalam kehidupan
sehari-hari sangat dekat namun sering menimbulkan masalah. Maka tidaklah berlebihan jika sebagian orang
mengatakan negeri ini sudah seperti kebun binatang dikarenakan banyak tikus-tikus
masyarakat yang berkeliaran. Hampir setiap bulan ada saja nama-nama baru yang
diberitakan. Mulai yang tinggal di gedung parlemen. Di kantor menteri,
gubernur, dan bupati. Di kantor pajak dan pengadilan. Di markas kepolisian. Di
rumah ibadah. Di perguruan tinggi hingga sekolah balita. Serta di jantung
birokrasi setiap organisasi. Jika kita mengingat kembali tikus-tikus yang pernah berkeliaran di Indonesia, maka
kita akan mendengar nama-nama seperti “Izederik Emir Moeis (Anggota DPR),
Murdoko (Ketua DPRD Jawa Tengah), Riza Kurniawan (Wakil Ketua DPRD Jawa
Tengah), Iqbal Wibisono (Mantan Anggota DPRD Jawa Tengah), Yohanes Eluay (Ketua
DPRD Kabupaten Jayapura), Zulklifi Shomad (Mantan Ketua DPRD Kota Jambi), Aries
Marcorius Narang (Ketua DPRD Palangkaraya), Sukarni Joyo (Anggota DPRD Kutai
Timur), Andi Irsan Idris Galigo (Anak Bupati Bone/Anggota DPRD Bone), Angelina
Sondakh (Anggota DPR), H. Zahri (Swasta, Direktur PT Langgam Sentosa, Ketua
DPRD Pelalawan), Muhammad Faizal Aswan (Anggota DPRD Riau), M. Dunir (Anggota
DPRD Riau), Taufan Andoso Yakin (Wakil Ketua DPRD Riau), E. Suminto Adi (Mantan
Kasi Pelayanan Nasabah Bank Jatim, Anggota DPRD Mojokerto), Wisnu Wardhana
(Ketua DPRD Surabaya), Zulkarnaen Djabar (Anggota Banggar, Anggota Komisi VII),
Afit Rumagesan (Ketua DPRD Fakfak), Sumartono (Anggota DPRD Semarang), Agung
Purno Sarjono (Anggota DPRD Semarang), Andi Alfian Malaranggeng (Menteri Pemuda
dan Olahraga), M. Nazaruddin (Anggota DPR), (Guritno, 2012).
Lalu
pertanyaannya, siapa yang tak kenal mereka? Mereka yang mengaku sebagai wakil
rakyat, tapi diam-diam menjadi penjahat. Mereka, para tikus kantoran yang harus
diruntuhkan.
Korupsi terjadi
dimana-mana, selama ada manusia disana. Tabiat manusia ketika memiliki
kesempatan, kekuasaan, jabatan dan niat untuk melakukan sesuatu maka akan serta
merta dilakukan sesuai keinginan. Pribadi seseorang lebih banyak
mempertimbangkan keuntungan dan mengabaikan kerugian yang ditimbulkan oleh apa
yang dikerjakan. Mungkin saja ini dampak dari pendidikan ekonomi yang
mengatakan : “ mengeluarkan modal sedikit
untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pencegahan korupsi
yang merajalela ini perlu dilakukan dengan segera dan komprehensif, dari
berbagai arah, secara serentak dan konsisten, serta sejak sedini mungkin. Dalam
hal pendidikan antikorupsi haruslah dilaksanakan secara utuh, selain mengandung
telaah berbagai disiplin lain, perlu melibatkan komponen psikologi yang cukup
besar. Kejujuran, moralitas, kebaikan, nilai benar-salah, dan tanggung jawab
sosial perlu ditelaah dalam konteks berbeda-beda agar anak sedini mungkin paham
situasi ideal dan situasi riil yang sering berbeda dengan yang ideal, tetapi
tetap mampu memisahkan dengan tajam mana yang pada dasarnya salah maupun benar.
Kasus-kasus nyata sehari-hari dari yang sederhana hingga yang kompleks perlu
didiskusikan. Misalnya, mencontek itu, dengan alasan apa pun, tetap merupakan
tindakan yang salah. Menolong teman mencuri barang karena sangat butuh uang
tetap hal buruk. Sangat berbahaya bila yang mengucapkan slogan antikorupsi
malah sangat piawai melakukannya. “Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat
rumput karena memberantas korupsi layaknya mencegah dan menumpas virus suatu
penyakit, yaitu penyakit masyarakat” (Prof. Romli Atmsasmita, S.H., LL.M. :
Sekitar Masalah Korupsi).
Segala permasalahan ini, apabila ditarik
suatu benang merah, maka akan ditemukan sebuah konklusi logis, yaitu tidak
adanya seorang inisiator yang mampu menghidupkan dan menjalankan roda
organisasi dan secara persusasif mengajak pemuda-pemuda potensial di
lingkungannya. Karena sejatinya, status keanggotaan pasif dan prinsip kerja
swadaya yang seperti dua mata pedang ini mampu dijadikan sebuah loyalitas dan
militansi terhadap organisasi, dengan syarat ada seorang inisiator yang
mumpuni. Dan mahasiswa adalah kuncinya, rahasia tersembunyi di balik permasalahan
ini. Mengapa mahasiswa? Mahasiswa merupakan pemuda terdidik dengan tingkat
pendidikan yang sampai jenjang perguruan tinggi, memiliki kemampuan hampir
mencapai tingkat kemahiran pada bidangnya, idelologi dan idealisme yang
terpegang dengan kuat serta setiap ucapan yang didasarkan pada rasionalitas dan
kebenaran. Mahasiswa dengan segala abilitasnya seharusnya mampu menjadi
inisiator untuk menghidupkan kembali oragnisasi strategis Karang Taruna,
terutama mahasiswa dengan label aktivis yang sudah penuh pengalaman dalam
menjalankan roda organisasi.
Solusi
Korupsi
Berbicara Anti korupsi, berarti membahas tentang
segala bentuk penyimpangan dalam segala persepsi, solusi efektif dan efisien.
Mengatasi korupsi tidak bisa hanya diatasi dengan spanduk, baliho, iklan-iklan,
KPK, dan semua sarana yang manusia buat tanpa harus melibatkan agama dalam
mensolusikannya. Penyimpangan perilaku seseorang dalam melakoni jabatan yang
sedang diemban mengantarkan kebobrokan suatu lembaga dan merebaknya korupsi
dalam segala lini yang ada Solusi strategis mengatasi para wakil rakyat dan
pejabat ditataran pemerintahan, lembaga sosial, dan lembaga pendidikan adalah
dengan memperbaiki orang-orang yang berperan paling banyak disetiap
tempat-tempat yang memiliki peluang untuk korupsi. Sebagai contoh, Recruitment
pegawai baru didasari dengan bidang masing-masing dan profesionalisme kerja
bukan karena keluarga atau karena uang yang ditawarkan kepadanya.
Bersihkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab
dalam profesi yang digeluti, dari jabatan tinggi, dan hinakan para koruptor
dikhalayak ramai. Ketegasan secara menyeluruh dan pendidikan dini dengan
pendekatan agama serta diaplikasikan dengan bukti keteladanan. Tegas tidak
pandang jabatan, uang, golongan, status dan semua yang menghalangi untuk
dijerat hukum. Ketegasan kepada segelintar orang-orang lemah, teraniaya, dan
rakyat jelata menyebabkan kekacauan dimana-mana akibat Undang-Undang dikalahkan
Amplop. Para penerus bangsa yang
akan menggantikan orang-orang yang sudah terlanjur tercemari, harus
dipersiapkan pola pikir, Visi, Misi, Orientasi dan Motivasi agama yang
diyakini. Sehingga menghasilkan para pembaharu dalam semua kerusakan yang telah
terjadi Kondisi sekarang tidak mungkin langsung dibersihkan dengan tindakan
secara otoriter dan sepihak. Langkah efektif dan efisien harus segera
ditanamkan sejak dini sebelum terkontaminasi virus-virus korupsi. Salah satu
cara yang harus dilakukan adalah pembinaan dan pendidikan calon-calon penerus
yang akan menggantikan para koruptor. Pendidikan yang dibutuhkan untuk para
pengganti mereka yang rusak pemikirannya dan tujuan hidupnya adalah pemahaman
agama. Agama merupakan sarana pencegah dan pengobat paling efektif dan efisien.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat
bahwa gerakan mahasiswa 1998 mampu menggulingkan diktator kepemimpinan tiga
dekade sang aktor utama orde baru yang syarat dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang disebabkan pada krisis moneter yang memiskinkan segala
lini kehidupan rakyat Indonesia. Peranan mahasiswa sebagai upaya mosi tidak
percaya terhadap kepemimpinan tidak hanya dilakukan pada era orde baru, suatu
kedigdayaan dalam orde lama yang memberi semangat merontokkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang bersarang pada kepemimpinan Soekarno tidak terlepas peran
mahasiswa dalam pencetusan tritura yang akhirnya lahirlah orde baru.
Mengapa
Harus Mahasiswa ?
Empat
belas tahun sudah negeri ini bertransformasi menuju era reformasi menggantikan
orde baru yang sudah tiga puluh dua tahun lamanya menguasai bangsa Indonesia.
Namun suksesi dari orde baru ke era reformasi tidaklah seindah yang
dibayangkan, karena dalam suksesi tersebut nilai KKN utamanya korupsi mendorong
pengkerdilan pola pikir masyarakat yang berimplikasi acuhnya masyarakat akan
permasalahan bangsa. Namun harapan masih ada, ketika melihat angka yang
tercantum dalam Indeks Presepsi Korupsi tersebut sudah seharusnya kita tidak
merasa kerdil dan sepatutnya optimis dalam memperjuangkanm semangat
antikorupsi.
Salah satu harapan yang dimiliki Indonesia ialah
urgensinya keberadaan peran mahasiswa dalam melakukan pengawasan terhadap
kinerja pemerintah khususnya di bidang pemberantasan korupsi. Peran mahasiswa
dalam hal pemberantasan korupsi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan,
terutama mahasiswa merupakan kaum akademis sebagai insan yang memiliki
keunggulan intelektual karena itu merupakan modal dasar kredibilitas
intelektual. Selain itu, secara sosial politik, mahasiswa merupakan bagian dari
rakyat, bahkan ia merupakan rakyat itu sendiri. Mahasiswa tidak boleh menjadi
entitas teralienasi di tengah masyarakat sendiri. Ia dituntut untuk melihat,
mengetahui menyadari, dan merasakan kondisi riil masyarakatnya yang hari ini
sedang dirundung krisi multidimensional. Kesadaran ini harus
teremosionalisasikan sedemikian rupa sehingga tidak berhenti dalam tataran
kognitif an sich, tapi harus terwujud dalam bentuk aksi advokasi. Dalam
tataran praksis, aksi advokasi ini sering bersinggungan dengan ketidakadilan
dan otoriterianisme kekuasaan. Menantang memang, namun disitulah jiwa
kemahasiswaan seseorang teruji (Indra Kusumah, 2007: 16).
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi
(Poerwadarminta, 2005:375). Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang
sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau
lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki
tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan keerencanaan
dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan
sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip
yang saling melengkapi.
Korupsi
dan mahasiswa memang secara langsung tidak menjadi ikatan, karena korupsi
identik dengan kekuasaan, suatu kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan,
terlebih kekuasaan itu tidak limitatif. Mahasiswa yang masih menduduki usia
pendidikan tidak mempunyai kekuasaan dengan sistem pemerintahan, tetapi pola kekuasaan sudah dialami mahasiswa
pada masanya dengan berbagai organisasi kemahasiswaan yang berada pada intra
kampus atau ekstra kampus yang merupakan miniatur dari pemerintahan.“Eine
grosse Epoche has hat das Jahrhundert geboren. Aber der grosse Moment findetein
kleines Geslecht” (Sebuah zaman besar dalam abad ini telah lahir. Tetapi
masabesar ini menemukan jiwa yang kerdil) – Mohammad Hatta (Untuk Negeriku).
Refleksi sumpah pemuda dilanjutkan
peringatan kisah paling heroik tanggal 10 November dapat menjadi menjadi refrensi
sebagai momentum kelahiran pemuda yang kritis saat ini. Sejarah yang telah
terukir di masa lalu harus mulai diukir lagi untuk meneruskan ukiran indah
cerita mahasiswa di masa lalu. pemuda yang dengan potensi besarnya masih
terlelap dalam tidurnya sehingga harus segera dibangunkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) seperti
yang diberitakan Kompas hari Senin (28/10/2013) menunjukkan kelompok usia
produktif berusia 15-65 tahun meningkat 17,1 persen dalam waktu 15 tahun ke depan. Sensus BPS tahun 2010 mencatat,
penduduk Indonesia kelompok 0 sampai 14 tahun sebesar 28,8 persen dan mereka
yang berumur 15 sampai 39 tahun sebesar 32,3 persen. Jadi lebih dari 60 persen
dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia berumur di bawah 40 tahun.
(majalahganesha.com) .
Secara kuantitas, itulah gambaran
besarnya jumlah pemuda Indonesia. Lalu, secara kualitas potensi pemuda
Indonesia meliputi idealisme, daya kritis, dinamisme, kreativitas serta fisik
yang prima. Ketika semua potensi itu, baik kualitas maupun kuantitas mampu
disinkronisasi dan diberdayakan, maka “raksasa” yang sedang tertidur itu akan
segera bangun.Pemuda dengan berbagai karakter, kemampuan dan latar belakang
merupakan sumber daya manusia yang sangat besar dan strategis bagi
keberlangsungan peralihan tongkat estafet kepemimpinan dan perjuangan dalam
membangun bangsa dan negara di masa depan. Meskipun demikian, kuantitas yang
besar dari generasi muda dapat menjadi senjata makan tuan apabila tidak
mendapatkan pembinaan dan pengembangan yang terencana dan terarah.
Perlunya
Wadah Pembinaan Mahasiswa
Pembinaan dan
pengembangan terencana mutlak diperlukan untuk mempersiapkan dan memberdayakan mahasiswa
sebagai lokomotif perjuangan. Sehingga tercipta iklim yang dinamis dan
produktif. Selain itu, diwajibkan pula adanya afirmasi tentang pemantapan
eksistensi, fungsi dan urgensi wadah kemahasiswaan. Wadah kemahasiswaan
diperlukan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan serta pemberdayaan generasi
muda yang akan menetaskan generasi muda yang potensial serta ideal yang
memiliki kemampuan mumpuni dan produktivitas tinggi dalam kontribusi
pembangunan bangsa. Seiring berkembangnya waktu, sering kali kita sudah melihat
banyaknya wadah kepemudaan extra kampus yang telah berkembang, meliputi KNPI,
Karang Taruna, dan berbagai bentuk peguyuban lainnya. Sedangkan pada tataran
mahasiswa juga terdapat berbagai organisasi kampus seperti BEM, ormawa dan UKM
lain.sehingga ini adalah modal besar yang seharusnya digunakan dalam wadah
ideal dalam membangun pergerakan mahasiswa
Secara kuantitas,
jumlah mahasiwa hanya 13,28 persen dari jumlah pemuda seusianya. (bps.go.id)
Fakta ini mengindikasikan urgensi yang begitu besar agar mahasiswa diberdayakan
sehingga siap untuk berkontribusi nyata kepada masyarakat. Akan tetapi, masih
banyak mahasiswa yang masih bersembunyi dalam zona nyaman dan enggan untuk
keluar untuk menuntaskan tugasnya sebagai agent of initiation. Mahasiswa
memiliki ranah-ranah strategis sebagai tempat berkontribusi untuk menginisisasi
dan menghidupkan lingkungan masyarakat. Ketika tidak mampu menciptakan suatu
kontinuitas, maka cukup menjadi inisiator lalu memberdayakan pemuda sekitar
untuk menjalankan organisasi dan secara periodik memantau kondisi dan
keberjalanan organisasi hasil inisisasi. Mungkin inilah salah satu amanat suci
Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai ejawantah pengabdian kepada masyarakat.
Karakter ideal memandang masalah dengan hakekat
manusia sejati tidak seperti orang pada umumnya. Menelusuri pokok permasalahan
untuk meningkatkan produktifitas dan peran serta di dalam masyarakat. Terkadang
terasa asing disebabkan beban yang ditanggung oleh seseorang yang memiliki
karakter ideal demi terciptanya lingkungan yang kondusif. Pribadi ideal tidak
luput dari perkara remeh yang menghanyutkannya untuk meninggalkan perkara yang lebih
besar. Namun mampu memamfaatkan setiap momentum untuk berbuat kebaikan dan
memperbaiki keadaan
Mahasiswa dalam tataran normatifnya memang secara
langsung tidak terkait dengan korupsi, karena korupsi erat kaitannnya dengan
kekuasaan, kekuasaan yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang berada pada ranah
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam struktur organisasi, mahasiswa
memainkan peran miniatur negara yang berada pada chapter kampus yang oleh
karenanya kekuasaan sebagai pemimpin suatu organisasi dapat dijadikan
pembelajaran untuk tidak menggunakan kekuasaan secara absolut dan
menyalahgunakan wewenang sebagai diskresi untuk menjadikan komoditi dalam
penyelenggaraan miniatur negara.
Mahasiswa
merupakan usia muda Mempunyai potensi yang kuat untuk mewujudkan cita-cita
bangsa indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, untuk
itu aktualisasi pemuda merupakan harapan besar Indonesia. Undang-Undang nomor
40 tahun 2009 mendefinisikan Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki
periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas)
sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Di
awal perjuangan bangsa Indonesia, seorang Mohammad Hatta yang pada saat itu berumur
26 tahun berhasil melawan ketidakadilan Belanda melalui pleidoi/pembelannya
yang berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), betapa tajamnya
tulisan pembelan Mohammad Hatta yang ditujukan untuk melawan kolonialisme
Belanda terhadap Indonesia. Pada era reformasi tahun 1998, mahasiswa yang pada
saat itu garda utama dalam menolak keberlanjutan orde baru memberikan dasar
perjuangan berupa penggerakan aksi massa guna mengakhiri aksi kedigdayaan orde
baru. Orde baru yang pada saat itu terkenal represif terhadap siapa saja
mengkritik pemerintahan, tetapi begitu lemah people power mulai beraksi
menggugat orde baru bersama kroni-kroninya. Saat ini, mahasiswa sebagai agent
of change perlu suatu gerakan baru yang berbasiskan pada kapasitas
intelektual mahasiswa guna mengimplementasikan nilainilai tri dharma perguruan
tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat).
Dinamakan
Intellectual Movement (gerakan intelektual), karena pada basisnya gerakan
ini didasari penanaman nilai-nilai akademisi yang diilhami dalam tri dharma
perguruan tinggi. Gerakan intelektual ini juga merupakan modal pergerakan
mahasiswa dalam ikut berpartisipasi menciptakan pemerintahan yang bersih dari
korupsi. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
memberikan dampak positif bagi pergerakan mahasiswa, salah satunya adanya kebebasan
menyatakan pendapat dan berserikat yang tertuangkan secara eksplisit dalam pasal
28 a-j UUD NRI Tahun 1945. Adanya pengakuan akan HAM memberikan juga kesempatan
terbukanya pintu-pintu demokrasi yang selama orde baru terkunci rapat, sehingga
terjadi reformasi dalam aspek struktur, substansial, dan kultural dalam diri pemerintah
Terbukanya
pintu demokrasi berbanding lurus dengan diversifikasi gerakan mahasiswa
khususnya yang berbasiskan gerakan intelektual, yaitu: 1. Adanya legalitas
pembentukan naskah akademik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi previlige/keistimewahan
akan pembentukan naskah akademik yang diberikan oleh undang-undang tersebut
jarang sekali digunakan para mahasiswa untuk berpartisipasi dalam menciptakan
peraturan perundangundangan yang ideal. Jadi, sungguh sayang sekali apabila
kesempatan emas ini disia-siakan, apalagi naskah akademik merupakan roh/nyawa
dari latar belakang dibentuknya undang-undang tersebut. 2. Ikut serta dalam
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), guna melaksanakan norma transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi, biasanya Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan
RDPU yang dihadiri oleh siapa saja. Bisanya RDPU dilakukan untuk membahas suatu
Rancangan Undang- Undang (RUU), selain itu masyarakat juga bisa memberikan
pendapat mengenai pembahasan yang terdapat dalam RUU, sehingga RUU yang nantinya
akan disahkan dalam undang-undang mampu mengakomodir semua kepentingan. 3.
Pengajuan uji materiil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 kepada
Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi faktanya pengujian materiil ini justru lebih
sering diajukan oleh koruptor yang lebih dikenal dengan fenomena Corruptor
Fights Back guna mengerdilkan semangat antikorupsi dengan menjudicial
review UU KPK. Maka sudah seharusnya, mahasiswa juga harus memanfaatkan
momentum uji materiil kepada MK guna membatalkan norma hukum yang tidak sesuai
dengan tujuan negara. 4. Kajian, kajian
atau yang lebih sering disebut dengan mimbar intelektual ini hendaknya
dilakukan di tempat berkumpulnya mahasiswa. Lembaga pergerakan mahasiswa
menyediakan fasilitas untuk menyampaikan pendapat dan mempersilahkan mahasiswa
untuk berbicara dan menyatakan pendapat dalam suatu forum terkait dengan wacana
gerakan. 5. Community Development (Comdev), Comdev/Pembangunan komunitas
merupakan aplikasi dari nilai ketiga tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian
kepada masyarakat. Yang mana pembangunan komunitas dalam masyarakat ini
bertujuan sebagai upaya pencerdasan kepada masyarakat guna menghilangkan sikap
acuh masyarakat, sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat utamanya
memberikan harapan itu masih ada. 6. Aksi Massa, aksi lebih popular dikenal
dengan demonstrasi ialah sarana komunikasi politik untuk mensosialisasikan
sebuah tuntutan atau wacana yang digulirkan. Biasanya aksi massa disertai
dengan orasi dan juga penyebaran pernyataan sikap secara tertulis (Indra
Kusumah, 2007: 50).
Bagaimanapun
juga penggunaan aksi massa ialah optimum remedium atau sebagai obat/solusi
terakhir ketika semua gerbang demokrasi/hak menyatakan pendapat telah terkunci
rapat oleh penguasa. Di masa depan peran mahasiswa memiliki kedudukan yang
sangat penting dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik khususnya
menjadi aktivis pemberantas korupsi yang lebih popular disebut sebagai fenomena
Student Fight Back. Negeri ini tidaklah kerdil, negeri ini tidaklah
bermental kerdil, dan negeri ini tidak pernah acuh terhadap perjuangan
bangsanya, karena selama mahasiswa konsisten mengawal cita-cita bangsa ini,
maka koruptor akan menjerit ketakutan berhadapan dengan sang agent of change.
Bangsa ini ibarat rumah bagi rakyatnya, yaitu rumah tumpah darah Bangsa
Indonesia. “You can take me out from Indonesia, but you can never
take Indonesia out from me – (Merry Riana)”.
Pergerakan
di bawah nauangan Mentoring agama mahasiswa
Kapabilitas
dan elektabilitas pemimpin dimasa depan dapat dilihat dari mahasiswa saat ini,
suatu keniscayaan biologis adanya regenerasi dari generasi tua ke generasi muda
untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Mahasiswa
yang merupakan tokoh pembaharu bangsa dimasa depan akan menghadapi suatu
problemik jika dalam kepribadiannya tidak mencerminkan adanya jiwa yang
menjunjung supremasi hukum, persamaan kedudukan dalam hukum (equal before the
law), dan menghargai hak asasi manusia
sebagai perwujudan dari ciri-ciri negara hukum.
Sejarah kepemimpinan dimasa lalu bisa dijadikan cemin untuk penumbuhan
karakter pemuda dalam pencegahan dan pemberantas Korupsi agar Indonesia yang
lebih berkarakter.
Pak
Soekarno pernah bilang “seribu orang tua hanya bisa bermimpi tapi satu pemuda
bisa mengubah dunia”. Inilah ungkapan sakral yang
terucap dari bibir seorang Ir. Soekarno tentang bagaimana kekuatan dan potensi
pemuda Indonesia. Kata “pemuda” memang seharusmya terkonotasi dengan sangat
indah terhadap kepahlawanan, patriotisme, keberanian dan kecerdasan. Bukan
seperti dewasa ini, hal sebaliknya yang justru terjadi, kata pemuda memberikan
arti terhadap westernisasi, hedonisme, hura-hura dan hal lain yang
syarat akan makna negatif. Ungkapan ini tentu sangat beralasan dan rasional
apabila melihat kondisi pemuda Indonesia saat ini. Narkoba, minuman keras, seks
bebas, kekerasan bahkan kriminalitas menjadi realita kehidupan pemuda di masa
yang seba instan ini. Hal ini pun belum mencakup produktivitas dan prestasi serta
kontribusi pemuda dalam membangun masyarakat yang masih sangat rendah.
Polemik
yang terjadi pada mahasiswa Indonesia menjadi hambatan untuk mewujudkan
cita-cita luhur founding father bangsa Indonesia, terlihat dari pergeseran peran mahasiswa yang
berdasar pada das sollen (harapan) yaitu sebagai agent of change (agen
perubahan), social control (kontrol sosial) dan agent of development ( agen
pemerintahan) tetapi pada das sein (kenyataan) menjadi sosok yang mempunyai
perilaku konsumtif, mengutamakan westernisasi, kepentingan pribadi diatas
kepentingan kelompok, termasuk rendahnya moral sehingga terwujudnya mengambil
hak orang lain yang memunculkan rekayasa sosial berupa penanaman nilai-nilai
korupsi.
Karakter ideal dengan anti korupsi memiliki hubungan
yang erat dengan agama. Batasan-batasan yang digariskan oleh setiap agama
merupakan faktor pencegah korupsi yang paling efektif. Semua agama melarang
tindakan korupsi dalam segala bentuk yang menimbulkan kerugiaan orang lain.
Peran karakter ideal adalah memiliki daya kompetitif yang sehat dan selalu
menghindari tindakan yang mengantarkannya jatuh dalam kehinaan
Pergeseran peran mahasiswa
dalam mencintai bangsa dan negara Indonesia menimbulkan polemik berupa
keinginan atau hasrat untuk menikmati kemerdekaan dengan cara yang tidak sesuai
aturan yang berlaku, termasuk korupsi. Mahasiswa yang berkarakter sebagai
seorang pemimpin yang mewujudkan good governance tidak dimulai dengan
pembelajaran korupsi seperti berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukum
sebagai contoh menggunakan uang organisasi untuk keperluan pribadi, mencontek
ketika ujian, memberikan gratifikasi kepada dosen untuk mendapatkan nilai
semester.
Kutipan
kalimat dalam trilogi otobiografi Bung Hatta mendeskripsikan bahwasanya zaman
yang besar akan berhadapan pada suatu penyakit pengkerdilan jiwadan mental
bangsa. Bagaimana tidak?, bangsa ini telah diracuni dengan segudang pesimisme
dimulai dari tata kelola pemerintahan hingga mentalitas penegakan hukum bangsa
Indonesia. Kerdilnya jiwa kebangsaan ini tidak terlepas dari permasalahan
korupsi yang semakin hari semakin membuat pesimis mental bangsa akan
pembangunan nasional Indonesia. Jangankan untuk memberantas korupsi, di negeri
ini ada anggota wakil rakyat yang juga ikut aktif memperjuangkan kegiatan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tidak salah jika Guru Besar Hukum Tata Negara Deny
Indrayana mengatakan dalam karyanya Negeri Para Mafioso: Hukum di Sarang
Koruptor, konon ada suatu negeri para Mafioso, yang mana di negeri tersebut
melakukan tindakan korupsi ialah tindakan lazim/legal dan hampir semua orang
melakukannya secara telanjang kasat mata. Dan konon di negeri itulah para
koruptor hidup dipuja-juga bagaikan dewa. Walaupun berada di negeri bak sarang
koruptor, keoptimisan jiwa bangsa yang beradab haruslah tetap dijunjung.
Maka
sebagai seorang yang digadang-gadang sebagai generasi perubah peradaban maka sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa
memiliki keteladanan yang baik pula. Sangat tidak etis ketika kita memiliki
cita-cita tinggi dalam mengubah peradaban masyarakat yang masih amburadul
mejadi peradaban yang baik, sedangkan kita sebagai pelaku tidak memperbaiki
diri. Namun harapan tersebut mungkin masih terasa berat direalisasikan
mengingat sampai saat ini, masyarakat masih mengenal mahasiswa sebagai sosok
yang sering bertindak di luar hukum, melakukan aksi demontrasi yang tidak
sedikit disertai dengan aksi aksi anarkis, pengerusakan dimana-mana, berorasi
dengan kata-kata kotor dan masih banyak lagi yang harus diintropeksi oleh
mahasiswa itu sendiri
Dengan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan sebuah
upaya intervensi
guna
meningkatkan konsep diri mahassiswa melalui teman sebaya. Salah satu program intervensi
yang dapat dilakukan melalui peran teman sebaya adalah dengan proses mentoring.
Santrock (2007) di dalam bukunya yang berjudul Adolescence mengatakan
bahwasanya mentoring merupakan program yang cocok dalam pembentukan karakter
dan pendidikan bagi para remaja. Selain hal tersebut, Agustiani (2006)
menambahkan cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep diri pada
remaja agar menjadi lebih positif adalah dengan
meningkatkan
nilai-nilai religiusitas remaja. Oleh karena itu, dengan kombinasi
antara
mentoring dengan penanaman nilai religiusitas diharapkan dapat semakin
memperkuat
konsep diri remaja menjadi lebih positif, yakni melalui mentoring
Agama
Islam.
Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui
demonstrasi, instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode
waktu tertentu.
Mentoring
biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan
kompetensi
serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung,
pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama. Di samping
itu, relasi dari mentee ke pementor juga melibatkan karakter
emosional
yang diwarnai oleh sikap hormat, setia, dan identifikasi (Santrock, 2007).
Dalam Islam, kata mentoring lebih dikenal dengan
istilah halaqah atau
usroh.
sebuah istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam.
Mentoring
dilaksanakan pada kelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji
ajaran
Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12
orang.
Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum
tersebut
berasal dari lembaga yang menaungi kegiatan mentoring tersebut (Satria,
2010).
Mentoring yang dilakukan secara rutin sepekan sekali akan membentuk
hubungan
yang baik antara sesama anggota kelompok mentoring. Pola pendekatan
teman
sebaya yang diterapkan menjadi program ini lebih menarik, efektif serta
memiliki
keunggulan tersendiri (Rusmiyati, 2003). Selain penyampaian materi
tentang
Islam, sasaran dan fokus materi juga harus disesuaikan dengan kondisi
mahasiswa
agar nilai-nilai dalam mentoring tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pentingnya kegiatan mentoring ini juga didukung oleh
penelitian yang menunjukkan bahwasanya remaja yang bergabung dalam
kelompok-kelompok
mentoring
lebih cenderung memiliki konsep diri yang tinggi dan lebih terdidik. Sebab
dalam prosesnya para partisipan yang tergabung didalamnya mempraktikkan
keterampilan interpersonal dan membantu individu dalam menjalani peran sebagai
orang dewasa (Santrock, 2007). Pola teman sebaya yang dibangun dalam proses
mentoring memunculkan sebuah harapan bagi peserta mentoring untuk membentuk
persahabatan yang kuat.Dalam hal ini, pemasukan nilai agama ke dalam pemikiran
mahasiswa merupakan hal yang logis dilakukan. Agama yang diyakini membawa
kemaslahatan jika dikombinasikan dengan semangat yang menggebu-gebu akan
melahirkan suatu ide yang tidak hanya didasarkan cit-cita dengan iming-iming
nafsu belaka, namun lebih dari itu, agama akan membawa pemikiran yang
melahirkan cita-cita yang lebih mulai yang disertai dengan proses pencapaian
yang mulia pula.
Maka sudah sangat jelas jika,
mentoring agama mahasiswa adalah salah satu strategi yang dapat diterapkan guna
membangun kesadaran mahasiswa sekaligus sebagai penghimpun kekuatan besar
mahasiswa yang dikombinasikan dengan nilai-nilai agama. Kepercayaan masyarakat
diharapkan akan kembali kepada mahasiswa ketika melihat mahasiswa dapat
menyuarakan aspirasi mereka dengan tata cara yang baik dan santun. Masyarakat
akan lebih menghormati mahasiswa sebagai seorang yang berpendidikan tinggi
tatkala keteladanan ada dalam mahasiswa itu sendiri. dan memang itu bukanlah
retorika belaka. Melalui peran agama juga, masyakarat akan lebih dekat dengan
mahasiswa, karena bukan rahasia umum lagi jika dalam sejarahnya, suatu
peradaban dapat berubah karena telah diintervensi oleh nilai-nilai keagamaan.
Jika dianalogikan juga, Ia seperti mata uang yang tetap laku dijual dimanapun
kita berada, karena semua orang khususnya di indoensia yang mayoritas Islam ini
sudah mengenal apa itu islam. Maka itu akan menjadi peluang besar dalam
membangun kekuatan tersebut. Jika hal ini bisa terealisasi, maka kekuatan
masyarakat sebagai pemberi kekuatan baru bagi mahasiswa dapat dimungkinkan akan
terjadi. Dan bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika simbiosis mutualisme
antar mahasiswa dan masyarakat dapat terbangun sedemikian rupa.
Sebagai penutup, penulis mengutip suatu hadist yang
erat sekali kaitannya dengan kondisi saat ini, “Ketahuilah bahwasanya pada
setiap tubuh ada segumpal daging. Jika daging itu baik, akan baiklah seluruh
anggota tubuhnya. Namun apabila dia rusak
maka akaan rusak pula seluruh
anggota tubuhnya. Ketahuilah bahwasanya segumpal daging itu adalah hati.”(HR.
Bukhari dan Muslim)